Sejarah baru Hak Asasi Manusia telah tercipta bagi rakyat Indonesia dan Belanda yang dulu pernah menjajah Indonesia. Rabu 14 September 2011, Pengadilan Den Haag memutuskan untuk mengabulkan tuntutan para keluarga korban tragedi kejahatan perang di Desa Rawagede Jawa Barat. Pemerintah Belanda harus mengakui kesalahannya dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban tragedi tersebut.
Cerita duka dari pihak korban tentang pembantaian Rawagede telah tersebar: para lelaki yang dibantai diberondong senapan dari belakang, sungai yang merah dengan darah, tangis pilu janda dan anak-anak yang dengan tenaga seadanya berusaha menguburkan 431 jasad yang bergelimpangan, serta tentang bau mayat yang menyengat selama berhari-hari.
Bagaimana dari sisi pelaku? Sebuah surat tanpa nama dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Pengirimnya mengaku seorang veteran perang yang mengaku ikut andil dalam tragedi yang terjadi pada 9 Desember 1947 silam itu.
Surat itu berisi penyesalan. "Sekarang aku siang malam teringat RawaGede, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata," kata orang tersebut seperti dimuat Radio Netherland Siaran Indonesia.
"Terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka yang terbelalak, ketakutan dan tak faham."
Berikut petikan surat itu:
Wamel RawaGede
"Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa Rawa Gedeh (Rawagede).
Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:
Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada Desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.
Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata, dll)
Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Jumlahnya ratusan.
Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.
Semua lelaki ditembak mati--kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.
Semua perempuan ditembak mati--padahal kami datang dari negara demokratis.
Semua anak ditembak mati--padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani.
Sekarang aku siang malam teringat RawaGede, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.
Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu."
Cerita duka dari pihak korban tentang pembantaian Rawagede telah tersebar: para lelaki yang dibantai diberondong senapan dari belakang, sungai yang merah dengan darah, tangis pilu janda dan anak-anak yang dengan tenaga seadanya berusaha menguburkan 431 jasad yang bergelimpangan, serta tentang bau mayat yang menyengat selama berhari-hari.
Bagaimana dari sisi pelaku? Sebuah surat tanpa nama dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Pengirimnya mengaku seorang veteran perang yang mengaku ikut andil dalam tragedi yang terjadi pada 9 Desember 1947 silam itu.
Surat itu berisi penyesalan. "Sekarang aku siang malam teringat RawaGede, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata," kata orang tersebut seperti dimuat Radio Netherland Siaran Indonesia.
"Terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka yang terbelalak, ketakutan dan tak faham."
Berikut petikan surat itu:
Wamel RawaGede
"Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa Rawa Gedeh (Rawagede).
Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:
Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada Desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.
Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata, dll)
Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Jumlahnya ratusan.
Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.
Semua lelaki ditembak mati--kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.
Semua perempuan ditembak mati--padahal kami datang dari negara demokratis.
Semua anak ditembak mati--padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani.
Sekarang aku siang malam teringat RawaGede, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.
Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu."
0 komentar:
Posting Komentar